Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Orang yang otoriter memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu dari sisi kejelekannya saja. Otoriter. Sebuah istilah yang menimbulkan kesan tidak enak bila kita mendengarnya. Sama tidak enaknya dengan mendengar kata 'egois' atau 'menang sendiri'. Terlebih jika kita melihat langsung orang yang memiliki sifat tersebut.
Tapi sayang, agaknya kita jarang menyisihkan waktu untuk bertanya secara jujur pada diri kita sendiri, adakah sifat-sifat itu melekat pada diri kita? Salah satu yang berbahaya di antara penyakit hati adalah sifat egois, tidak mau kalah, ingin menang sendiri, ingin selalu merasa benar, atau sifat selalu merasa dirinya tidak berpeluang untuk berbuat salah. Sifat seperti ini biasanya banyak menghinggapi orang-orang yang diamanahi kedudukan, seperti para pemimpin dalam skala apapun.
Sifat-sifat tersebut tak jarang memunculkan sikap otoriter, bahkan jika dibiarkan akan berubah menjadi diktator sebutan yang dinisbahkan pada Adolf Hitler, Benito Musolini, Fidel Castro, atau Saddam Husein. Orang-orang yang dicap otoriter, biasanya menginginkan semua berada dalam kekuasaannya, harus tunduk dan patuh kepadanya, dan ujungnya adalah kejatuhan dan kehinaan.
Orang-orang otoriter tak jarang memiliki versi tersendiri dalam menilai sebuah kejadian. Dia selalu memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu dari sisi kekurangannya dan kejelekannya saja. Akibatnya, sebaik apa pun yang dilakukan orang lain akan mendapatkan cacian darinya.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa para korban narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) adalah mereka yang tumbuh besar dari kalangan orang tua otoriter, keras, mau menang sendiri, tidak komunikatif, dan tidak ada dialog antar anggota keluarga. Tak mengherankan bila si anak menjadi seorang yang apatis, acuh, dan akhirnya jatuh pada perangkap NAPZA, na'uzubillah. Begitu pun dengan anak yang terlalu dikekang oleh orang tuanya. Dia sangat berisiko untuk menjadi pecandu narkoba.
Contoh kasus, seorang anak selalu bentrok dengan ibunya, karena si ibu menginginkannya taat 100 persen tanpa reserve. Terlebih bila disertai dengan penilaian yang selalu negatif. Sang ibu selalu mengungkapkan sisi-sisi salahnya saja dari diri si anak. Sehingga muncullah ungkapan, "Sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit salah!" Saking kesalnya, si anak pun berkata: "Kalau saya ini salah terus, lalu kapan benarnya saya sebagai manusia ini? Mengapa semua yang saya lakukan selalu disalahkan?
Idealnya, orang tualah yang mesti lebih dahulu mengetahui dan paham ketimbang si anak. Tetapi, karena ketidaktahuan dan kurangnya ilmu, tanpa disadari si ibu telah menggiring dan menjerumuskan anaknya ke dunia NAPZA. Begitulah, gaya mendidik yang otoriter, kaku, dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam kondisi tertekan, tidak aman, yang berujung dengan larinya sang anak dari kenyataan sebenarnya.
Begitu pula di kantor atau perusahaan-perusahaan yang memiliki pimpinan otoriter. Para karyawan dapat dipastikan bekerja dalam kondisi tertekan. Bos yang otoriter hanya akan melihat kesalahan-kesalahan karyawannya saja. Mengapa begini? Ini salah! Itu Salah! Jarang memuji, menghargai, dan jarang menyapa dengan baik. Bahkan, saking sangat jarangnya tersenyum, wajahnya tampak menyeramkan dan angker. Akhirnya disiplin karyawan menjadi disiplin takut atau disiplin terpaksa. Mereka akan kelihatan taat, namun hatinya tertekan, sakit hati, dan bahkan benci pada pimpinan otoriter ini.
Di antara ciri perusahaan yang memiliki pemimpin otoriter adalah cepatnya perputaran keluar masuknya karyawan. Seluruh karyawan dari tingkat tertinggi hingga terendah berkeinginan keluar. Jika ada yang bertahan, bukan karena senang bekerja di sana, melainkan semata-mata pertimbangan penghasilan. Pemimpin otoriter biasanya sangat mudah marah dan itu bisa dilakukan di sembarang tempat. Bila bertemu orang yang dimarahi, dia akan meluapkan kemarahannya. Padahal kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan dirinya sendiri. Sebab, orang lain yang melihatnya akan memberikan penilaian negatif. Karena itu, siapa pun yang memiliki sikap otoriter, ia harus siap menjadi orang yang tidak disukai dan dibenci banyak orang. Wallahu a'lam.
Orang yang otoriter memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu dari sisi kejelekannya saja. Otoriter. Sebuah istilah yang menimbulkan kesan tidak enak bila kita mendengarnya. Sama tidak enaknya dengan mendengar kata 'egois' atau 'menang sendiri'. Terlebih jika kita melihat langsung orang yang memiliki sifat tersebut.
Tapi sayang, agaknya kita jarang menyisihkan waktu untuk bertanya secara jujur pada diri kita sendiri, adakah sifat-sifat itu melekat pada diri kita? Salah satu yang berbahaya di antara penyakit hati adalah sifat egois, tidak mau kalah, ingin menang sendiri, ingin selalu merasa benar, atau sifat selalu merasa dirinya tidak berpeluang untuk berbuat salah. Sifat seperti ini biasanya banyak menghinggapi orang-orang yang diamanahi kedudukan, seperti para pemimpin dalam skala apapun.
Sifat-sifat tersebut tak jarang memunculkan sikap otoriter, bahkan jika dibiarkan akan berubah menjadi diktator sebutan yang dinisbahkan pada Adolf Hitler, Benito Musolini, Fidel Castro, atau Saddam Husein. Orang-orang yang dicap otoriter, biasanya menginginkan semua berada dalam kekuasaannya, harus tunduk dan patuh kepadanya, dan ujungnya adalah kejatuhan dan kehinaan.
Orang-orang otoriter tak jarang memiliki versi tersendiri dalam menilai sebuah kejadian. Dia selalu memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu dari sisi kekurangannya dan kejelekannya saja. Akibatnya, sebaik apa pun yang dilakukan orang lain akan mendapatkan cacian darinya.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa para korban narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) adalah mereka yang tumbuh besar dari kalangan orang tua otoriter, keras, mau menang sendiri, tidak komunikatif, dan tidak ada dialog antar anggota keluarga. Tak mengherankan bila si anak menjadi seorang yang apatis, acuh, dan akhirnya jatuh pada perangkap NAPZA, na'uzubillah. Begitu pun dengan anak yang terlalu dikekang oleh orang tuanya. Dia sangat berisiko untuk menjadi pecandu narkoba.
Contoh kasus, seorang anak selalu bentrok dengan ibunya, karena si ibu menginginkannya taat 100 persen tanpa reserve. Terlebih bila disertai dengan penilaian yang selalu negatif. Sang ibu selalu mengungkapkan sisi-sisi salahnya saja dari diri si anak. Sehingga muncullah ungkapan, "Sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit salah!" Saking kesalnya, si anak pun berkata: "Kalau saya ini salah terus, lalu kapan benarnya saya sebagai manusia ini? Mengapa semua yang saya lakukan selalu disalahkan?
Idealnya, orang tualah yang mesti lebih dahulu mengetahui dan paham ketimbang si anak. Tetapi, karena ketidaktahuan dan kurangnya ilmu, tanpa disadari si ibu telah menggiring dan menjerumuskan anaknya ke dunia NAPZA. Begitulah, gaya mendidik yang otoriter, kaku, dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam kondisi tertekan, tidak aman, yang berujung dengan larinya sang anak dari kenyataan sebenarnya.
Begitu pula di kantor atau perusahaan-perusahaan yang memiliki pimpinan otoriter. Para karyawan dapat dipastikan bekerja dalam kondisi tertekan. Bos yang otoriter hanya akan melihat kesalahan-kesalahan karyawannya saja. Mengapa begini? Ini salah! Itu Salah! Jarang memuji, menghargai, dan jarang menyapa dengan baik. Bahkan, saking sangat jarangnya tersenyum, wajahnya tampak menyeramkan dan angker. Akhirnya disiplin karyawan menjadi disiplin takut atau disiplin terpaksa. Mereka akan kelihatan taat, namun hatinya tertekan, sakit hati, dan bahkan benci pada pimpinan otoriter ini.
Di antara ciri perusahaan yang memiliki pemimpin otoriter adalah cepatnya perputaran keluar masuknya karyawan. Seluruh karyawan dari tingkat tertinggi hingga terendah berkeinginan keluar. Jika ada yang bertahan, bukan karena senang bekerja di sana, melainkan semata-mata pertimbangan penghasilan. Pemimpin otoriter biasanya sangat mudah marah dan itu bisa dilakukan di sembarang tempat. Bila bertemu orang yang dimarahi, dia akan meluapkan kemarahannya. Padahal kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan dirinya sendiri. Sebab, orang lain yang melihatnya akan memberikan penilaian negatif. Karena itu, siapa pun yang memiliki sikap otoriter, ia harus siap menjadi orang yang tidak disukai dan dibenci banyak orang. Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment