Kegiatan pertambangan migas tidak hanya di darat atau onshore tetapi juga dilakukan di lepas pantai atau offshore. Dewasa ini kegiatan pertambangan migas di onshore
khususnya di Indonesia sudah mulai menurun intensitasnya dan mulai
mengarah kepada pencarian sumber-sumber migas baru di daerah lepas
pantai atau Offshore bahkan sampai pada laut dalam (Deepwater).
Berdasarkan data yang ada per Desember 2010 untuk jumlah wilayah kerja (WK) produksi onshore adalah sebanyak 47 WK dan offshore 29 WK, wilayah kerja pengembangan onshore sebanyak 12 WK, dan offshore 12 WK, wilayah kerja eksplorasi onshore 84 WK dan offshore 92 WK sedangkan penawaran wilayah kerja onshore 6 WK, dan offshore 16 WK (Sumber Ditjen Migas – Gambar 1). Dari data tersebut terlihat bahwa kegiatan minyak dan gas di daerah offshore ± 48 %.
Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Migas di Indonesia
Dalam
makalah ini, penulis akan mencoba mengulas bentuk kegiatan pertambangan
migas di daerah lepas pantai, teknologi yang digunakan, dan peralatan
pendukung yang diperlukan sehingga pengambilan minyak dan gas dapat
dilakukan dengan efektif dan ekonomis.
Pelaksanaan kegiatan pertambangan migas di lepas pantai atau Offshore pada umumnya dibagi menjadi 2(dua) tahap operasi utama yaitu tahap eksplorasi, eksploitasi (produksi).
-
Eksplorasi merupakan tahap pencarian sumber-sumber migas di perut bumi. Berkembangnya teknologi satelit, seismik, microprocessor, dan bahan peledak memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap peran para geologist dan kemudian geophysist dalam memprediksi sumber-sumber migas. Dalam operasi ekplorasi di offshore diperlukan berbagai jenis kapal seperti kapal survei seismik, drilling ship, drilling rigs, kapal suplai dan kapal Penunjang lainnya (crew boat).
-
Pada saat tanda-tanda keberadaan sumber migas dapat dibuktikan secara meyakinkan, dan dievaluasi memiliki nilai ekonomis yang cukup untuk dimanfaatkan, maka selanjutnya operasi migas akan memasuki tahap ekploitasi. Pada tahap Eksploitasi offshore, baik pemerintah sebagai pihak regulator/ pemegang kuasa pertambangan dan pihak investor akan dihadapkan pada suatu pilihan tentang metode dan fasilitas apa yang akan digunakan dalam proses pengangkatan migas ke permukaan bumi dan pengolahannya sebelum dipasarkan. Pada kondisi laut dalam, biasanya pilihan akan ditujukan pada berbagai jenis fasilitas terapung (Floaters). Di dalam proses tersebut, pemilihan fasilitas akan bergantung pada kedalaman laut, kondisi operasi, ukuran dan umur reservoir sumber migas, jarak dari pembeli migas, ukuran kapal tanker penerima, faktor safety, dan keekonomian. Berikut adalah beberapa jenis floater dengan berbagai keunggulan dan kekurangannya.
Gambar 2. Beberapa Jenis Fasilitas Migas Terapung
No | Fasilitas Floaters | Fungsi |
1. | Drilling Barges | Digunakan untuk pemboran di laut dangkal atau sungai. Tidak mempunyai penggerak sendiri, sehingga bergerak dengan dukungan Tugboat. Drilling Barges biasanya dilengkapi dengan akomodasi dan flat top hulls untuk penyimpanan peralatan. |
2. | Submersible Rigs | Digunakan untuk pemboran di laut dangkal, merupakan suatu flat platform yang ditopang oleh dua lambung untuk memberikan buoyancy (gaya angkat). Keuntungannya pada posisi terbenam memberikan kondisi yang stabil pada saat pemboran. |
3. | Semi submersible Rigs | Sangat umum digunakan pada operasi pemboran di laut dangkal, disangga oleh rantai jangkar, dan dapat dengan mudah dipindahkan ke lokasi lain. |
4. | Drilling Ships | Digunakan untuk pemboran di laut dalam, pada saat beroperasi, posisi dipertahankan dengan teknologi dynamic positioning menggunakan satelit. |
5. | Tension Leg Platforms (TLP) | TLP biasanya digunakan pada pemboran di laut dalam, merupakan platform terapung yang disangga oleh baja hollow dan terpancang di dasar laut sebagai tendon. Hal ini dapat menjaga stabilitas kapal konstan dari gaya pasang surut dan gelombang air laut. |
Tabel 1. Fasilitas Migas Terapung dan penggunaanya.
Disamping
berbagai fasilitas terapung diatas, kegiatan eksploitasi migas juga
memerlukan keberadaan kapal-kapal pendukung untuk menjamin kelancaran
dan keamanan operasi di lapangan, termasuk dukungan peralatan logistik.
Sistem pendukung dan perbekalan ini akan diperlukan sejak awal pada saat
penempatan pertama dari platform rig pemboran, hingga pada
akhir waktu pembongkaran dan pada pemasangan dan pemeliharaan sistem
produksi yang diperlukan. Sistem pedukung merupakan suatu armada
kapal-kapal khusus, yang terdiri dari kapal suplai (Supply Vessel),
kapal Anchor Handling, Tug, and Supply (AHTS), kapal Crew Boat, kapal konstruksi (Crane Barge), Pipe Laying Barge, Cable Laying Barge, kapal pemadam kebakaran (Fire Fighting Vessel), Kapal Pandu, dsb.
Gambar 3. Fasilitas Penunjang Operasi di Laut
Teknologi lepas pantai khususnya laut dalam (Deepwater)
telah berkembang dengan pesat, peralatan yang digunakan saat ini adalah
peralatan dengan teknologi yang mutakhir. Walaupun secara konseptual
peralatan dan dan metode yang dipergunakan di operasi pemboran lepas
pantai sama dengan yang dipakai di darat, namun secara actual dapat
ditemukan banyak perbedaan-perbedaannya. Perbedaan ini datang dari
kondisi khas lingkungan laut dan faktor-faktor tidak tetap lainnya, dan
setiap aspek menjadi semakin berarti karena proses yang diperlukan sejak
penemuan pertama sumber migas sampai dimulainya tahap produksi
memerlukan waktu sekitar 5-10 tahun. Disamping itu setiap aspek
mempengaruhi besaran biaya keseluruhan proses, sehingga semakin dalam
lautnya, semakin canggih teknologi yang digunakan, maka biaya
operasional yang diperlukan juga akan semakin besar.
Gambar 4. Skema Operasi Migas Laut Dalam
Gambar
diatas menunjukkan suatu skema sederhana operasi produksi migas
offshore dimana aliran fluida migas dari kepala sumur (wellheads)
dialirkan keatas permukaan laut melalui jaringan pipa bawah laut
(flexible flowlines), dan jaringan pipa riser (flexible risers).
Fasilitas penerima di atas permukaan laut dapat berupa fasilitas proses
maupun penampung yang dapat terdiri dari berbagai jenis kapal Floating
Production Storage and Offloading (FPSO), Floating Storage Offloading
(FSO), Mobile Production Unit (MoPU), Floating Production Unit (FPU), dan khusus untuk laut dalam/ Deepwater diperlukan beberapa jenis peralatan khusus/ Platform khusus seperti Fixed Platform, Compliant Tower, Tension Leg Platform (TLP), SPAR, FPSO, atau Semi-Submersible (Gambar 2)
Hampir
semua peralatan yang digunakan diatas masih didatangkan dari luar
negeri. Dimasa mendatang dengan meningkatnya kebutuhan akan produksi
migas nasional sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa negara dan
mengingat besarnya resiko dan investasi yang diperlukan, maka Indonesia
dalam mengelola kegiatan lepas pantai khususnya laut dalam (deepwater)
memerlukan suatu perencanaan jangka panjang dalam mempersiapkan
ketersediaan sumber daya manusia yang handal (SDM), kesiapan teknologi,
peralatan dan industri pendukung yang memadai.
Pengembangan
sumber daya manusia untuk teknologi laut dalam (deepwater) mencakup
beberapa bidang yang cukup luas dan multi disiplin, seperti penguasaan
terhadap teknologi desain, rekayasa (engineering), pengadaan (procurement), konstruksi, instalasi, maupun services.
Beberapa Perguruan Tinggi seperti ITS, ITB, Universitas Indonesia (UI),
Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Pattimura (UPATTI)
telah memiliki program studi di bidang Perkapalan dan Kelautan, namun
masih memerlukan pengembangan kurikulum terhadap aplikasi teknologi laut
dalam karena para ahli bidang tersebut masih banyak dikuasai oleh
tenaga kerja asing sedangkan untuk peralatan dan fasilitas yang tersedia
masih sangat terbatas di Indonesia.
Disamping
kekurangan akan tenaga kerja ahli di bidang laut dalam, secara nasional
industri pendukung di sektor kelautan kita juga masih memiliki banyak
kekurangan, terutama berkaitan dengan penguasaan teknologi, ketersediaan
material produksi nasional, maupun jumlah galangan nasional yang mampu
bersaing dalam hal Quality, Cost, Delivery, dan Safety
(QCDS). Sebagai contoh, pada saat ini jumlah galangan kapal yang ada di
Indonesia sebanyak ±155 unit, dimana 37 diantaranya adalah milik
pemerintah (BUMN) dengan total kapasitas ± 226.415 DWT. Dari jumlah
tersebut hanya 10% yang mampu membangun dan mereparasi kapal berukuran
sedang hingga besar, selebihnya hanya ditujukan untuk ukuran kapal kecil
( 100 s/d 200 DWT). Jika di Indonesia saat ini dioperasikan ± 20 unit
FSO / FPSO dengan kapasitas (100.000 s/d 150.000) DWT, maka dapat
dipastikan perbaikan/ dry docking untuk kapal-kapal jenis
tersebut sebagian besar harus dilakukan di luar negeri seperti Singapura
atau China, karena keterbatasan galangan kapal nasional yang ada.
Dari uraian di atas dapat kita ambil
beberapa kesimpulan bahwa saat ini kegiatan pertambangan migas
cenderung mengarah pada daerah lepas pantai khususnya laut dalam
(Deepwater) dan untuk dapat meningkatkan peran serta pendapatan nasional
maka diperlukan pengembangan sumber daya manusia secara
berkesinambungan, dan pengembangan industri pendukung berbasis kelautan,
sehingga dengan ditunjang kondisi perekonomian dan hukum yang kondusif,
serta dan kebijakan pemerintah yang menunjang hal tersebut, maka kita
akan dapat dengan optimal memanfaatkan sumber daya migas khususnya dari
laut untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
sumber